SURABAYA - Berbagai kesempatan untuk mengharumkan almamater di kancah nasional terus digapai oleh Ksatria Airlangga. Kali ini prestasi membanggakan datang dari Reyhan Agung Ramadhan P W (FKM), Ilham Baskoro (FIB), Amanda Istikomah (FKp), Tsabitah Rif’ah Nur Rahmah (FKp), Muh Al Himny Rusydy (FKM), dan M Iqbal Rangga K (FISIP). Mereka berhasil meraih juara III dalam kompetisi Festival Film Nasional (FFN) yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang pada Sabtu (3/9/2022).
Angkat Dokumenter Tari Remo
Reyhan selaku ketua tim menyampaikan bahwa ia dan timnya membuat sebuah film dokumenter berlatar belakang budaya bertajuk The Living Remo. Dalam karya tersebut, mereka memilih seorang pemilik sanggar tari di Sidotopo bernama Bu Siwi sebagai model utama untuk merepresentasikan nilai tari remo.
“Remo itu secara filosofis berjiwa ksatria atau tangguh. Setelah kita wawancara Bu Siwi, ternyata bener-bener menjiwai remo. Jadi, kita gambarkan Remo dalam diri Bu Siwi. Terlebih beliau sebagai single parent, punya anak dua sudah lulus S1, Bu Siwi sendiri gak cuma penari, tapi juga guru SD. Di tengah kesibukan seperti itu, dia harus menafkahi anak-anaknya dan juga mengajar sanggar, ” ujarnya.
Di samping itu, ia juga menerangkan bahwa The Living Remo memiliki tujuan untuk menanamkan kembali jiwa patriotisme dan nasionalisme para warga Surabaya setelah menghadapi pandemi. Harapannya, film dokumenter yang mereka buat dapat menjadi penyemangat untuk warga Surabaya, khususnya muda-mudi agar dapat melestarikan budaya mereka.
Kiat Sukses
Pada akhir, Reyhan membagikan beberapa kiat sukses untuk mengikuti lomba festival film. Pertama, ide yang matang dan sesuai dengan tema perlombaan. Kedua, keutuhan sumber daya untuk saling menopang satu sama lain dalam proses produksi film.
Tim UNAIR meraih peringkat III dalam lomba Festival Film Nasional yang diselenggarakan oleh HMD Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. (Sumber: Dokumen pribadi)
“Jujur, waktu ikut ini bener-bener bongkar pasang soalnya waktunya juga mepet. Terus, temen-temen juga punya agenda masing-masing karena sibuk jadi panitia AMERTA dan 17-an, ” ucapnya.
Ketiga, komitmen yang kuat dari setiap anggota dalam tim. Keempat, manajemen waktu karena proses pembuatan film membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Dengan waktu yang terbatas, kita akhirnya brainstorming mau dibawa kemana arah videonya ini. Akhirnya kita menentukan timeline untuk syuting dan kita maksimalkan sebisa mungkin sampai jadi satu video, ” tukas Reyhan. (*)
Penulis: Rafli Noer Khairam
Editor: Binti Q. Masruroh