Mahasiswa UNAIR Teliti Permasalahan Ketersediaan Ambulans

    Mahasiswa UNAIR Teliti Permasalahan Ketersediaan Ambulans
    Ilustrasi Ambulans. (Foto: Freepik)

    SURABAYA – Ambulans ternyata bukan merupakan transportasi tercepat dalam membawa pasien menuju rumah sakit. Menurut survei, hanya 9, 3 persen pasien yang mendapatkan pelayanan ambulans. Sedangkan 38 persen pasien lainnya bahkan tidak mengetahui ketersediaan dari pelayanan ambulans. 

    Jumlah ambulans yang tidak memadai adalah faktor mengapa pelayanan ambulans belum optimal. Salah satu daerah dengan pelayanan ambulans yang belum optimal yaitu Jakarta. 

    Pada tahun 2021 saat pandemi COVID-19 terjadi, Emergency Medical Services (EMS) dengan target mampu memenuhi service ambulans sebanyak 8000 permintaan hanya mampu memenuhi 4000 permintaan yang ada. Hal ini berarti ambulans hanya mampu melayani dua pasien setiap harinya. 

    Permasalahan itu yang kemudian menjadi sorotan kelompok mahasiswa jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga (FTMM UNAIR) dalam artikel ilmiah mereka. Kelompok beranggotakan Luqyana Humaira (162012533059), Maissy Ar Maghfiroh (162012533020), Angelina Miracle (162012533019), Muhammad Naufal Razani (162012533029), dan Ilman Andaludzi (162012533037) itu membahas metode pada negara-negara lain untuk memecahkan permasalahan pengoptimalan pelayanan ambulans. 

    Penerapan Double Standard Model 

    Perwakilan kelompok, Luqy menuturkan kelompoknya memberikan alternatif solusi dengan menggunakan Double Standard Model (DSM) seperti di 1[p8

    b5 negara Belgia, Kanada, dan Austria. DSM telah terbukti menjadi salah satu model pemecahan masalah lokasi ambulans yang paling banyak diterima dan digunakan. 

    “DSM merupakan model yang diusulkan oleh Schmid untuk memperhitungkan waktu perjalanan yang bervariasi sepanjang hari, ” ujar Luqy, Selasa (25/4). 

    Pengembangan Tiga Skenario EMS 

    Selain DSM, Luqy dan kelompoknya juga memberikan alternatif berupa EMS yang berkembang dengan tiga skenario di Isfahan, Iran. Skenario pertama, papar Luqy, yaitu memberikan pelayanan dengan sistem yang ada dengan tujuan untuk menentukan kemungkinan sistem yang ada mencakup permintaan selama jam sibuk. 

    “Hasil dari skenario pertama menunjukkan cakupan permintaan bantuan adalah 77, 56 persen dengan waktu respons permintaan bantuan sekitar 11, 01 menit. Ini jauh lebih tinggi daripada waktu respons standar yaitu delapan menit, ” terangnya. 

    Skenario kedua, lanjutnya, yaitu merelokasi posko bantuan dan ambulans. Hasil dari skenario kedua memperlihatkan cakupan permintaan bantuan dapat ditingkatkan dari 77, 56 persen menjadi 95, 1 persen. 

    “Skenario terakhir yaitu anggaran minimum untuk meningkatkan kemungkinan cakupan sampai batas tertentu, sebab hasil dari skenario kedua menunjukkan lokasi posko bantuan yang ada tidak sesuai dan perlu untuk dipindahkan, ” ucap Luqy. 

    “Hasil dari skenario ketiga menunjukkan perlunya alokasi tujuh ambulans baru ke lima stasiun baru untuk mencapai setidaknya 90 persen permintaan cakupan, ” sambungnya. 

    Sistem EMS dengan tiga skenario tadi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan, sehingga dapat mencapai kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan bagi seluruh masyarakat. (*) 

    Penulis: Dewi Yugi Arti/Luqyana, Maissy, Angelina, M. Naufal, Ilman 

    Editor: Feri Fenoria 

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Gelar Pembinaan Pegawai, UINSA Hadirkan...

    Artikel Berikutnya

    Toleransi Tengger Jadi Contoh Keberagaman...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami