Mengulik Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

    Mengulik Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Karbon di Indonesia
    Pemandangan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara (Sumber; Greenpeace)

    SURABAYA–  Pemerintah Indonesia kala ini sedang mengumandangkan rencana untuk menerapkan pajak karbon pasca ditekennya UU 7/2021 dan Perpres 98/2021. Pada dasarnya, pajak karbon adalah pengenaan biaya terhadap emisi karbon pada aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, dan gas bumi). Untuk mengulik potensi dan tantangan penerapan rencana tersebut lebih lanjut, tim redaksi mewawancarai Dosen FH UNAIR Dr Cenuk Sayekti.

    Cenuk mengatakan bahwa pajak karbon merupakan manifestasi dari prinsip pencemar membayar (polluter pays) dalam hukum lingkungan. Hal ini digunakan untuk menekan eksternalitas negatif, yakni polusi, dalam aktivitas perekonomian. Harapannya, pajak karbon ini dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang amat merusak iklim, karena Cenuk menekankan bahwa esensi dari penerapan pajak adalah perubahan perilaku. Ia juga menuturkan bahwa penerapan pajak karbon adalah bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai negara anggota Paris Agreement.

    “Hingga saat ini, pajak karbon belum diberlakukan sekalipun rencananya adalah 1 Juli kemarin. Beberapa alasan seperti krisis energi global akibat konflik Rusia-Ukraina menjadi pemicu. Namun, potensi untuk peningkatan ekspor batubara Indonesia ke negara Eropa juga bisa menjadi alasan, ” ujar alumni Macquarie University itu pada Rabu (28/9/2022).

    Potret Dosen FH UNAIR Dr Cenuk Sayekti. (Foto: Istimewa)

    Bilamana mengacu pada Pasal 13 UU 7/2021, Cenuk menuturkan bahwa target pajak karbon adalah entitas (individu/perusahaan) yang menghasilkan emisi karbon sehingga memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Namun, legislasi ini mengamanatkan bahwa badan yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) itu akan pertama kali dikenakan pajak karbon.

    “Terdapat dua skema khusus yang diberlakukan dalam UU 7/2021 untuk menekan emisi karbon, yakni skema pajak karbon (cap and tax) dan skema perdagangan karbon (cap and trade), ” kata mantan lektor Universitas Lancang Kuning itu.

    Cenuk menjelaskan bahwa dalam skema perdagangan karbon, suatu entitas memiliki kuota untuk mengeluarkan emisi. Namun bilamana emisi suatu entitas melebihi kuota, ia harus membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas lain yang menghasilkan emisi di bawah kuota. Selain itu, entitas juga dapat membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE).

    “Akan tetapi jika entitas tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh untuk emisi yang dihasilkan, maka skema cap and tax diberlakukan. Dengan kata lain, entitas yang menghasilkan emisi residu yang melebihi batas akan dikenakan pajak karbon, ” papar Cenuk.

    Cenuk mengatakan bahwa efektivitas pelaksanaan pajak karbon terletak pada tata cara pemungutan dan alokasi penghasilan pajak oleh pemerintah. Lanskap kebijakan pajak karbon harus memperhatikan proporsionalitas pemungutan pajak supaya tidak membebankan masyarakat berpenghasilan rendah. Tak hanya itu, Cenuk juga menyerukan bahwa alokasi penghasilan pajak karbon harus menerapkan konsep earmarking.

    “Konsep ini memungkinkan penerapan langsung alokasi pajak karbon pada sektor lingkungan atau green spending. Satu hal yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan adalah penghasilan dari pajak karbon itu dialokasikan ke dalam APBN, dimana sifatnya itu umum, ” tuturnya.

    Terakhir, Cenuk menyerukan bahwa pemerintah harus dapat terbuka tentang bagaimana pajak ini dapat mengurangi emisi karbon, serta manfaat tambahan yang diperoleh oleh masyarakat dan lingkungan. Beberapa contohnya adalah pengurangan kemacetan lalu lintas, penurunan polusi udara, penurunan biaya kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

    Penulis: Pradnya Wicaksana

    Editor: Nuri Hermawan

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Pakar Hukum Lingkungan UNAIR: Hukum Kita...

    Artikel Berikutnya

    UNAIR Laksanakan Pengabdian Masyarakat di...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami