SURABAYA - Mantan narapidana (napi) kasus korupsi diperbolehkan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. Hal itu telah diputuskan Mahkamah Agung (MA) melalui aturan Nomor 30 P/HUM/2018.
Dalam putusan itu, MA menuliskan pandangan saat mencabut larangan yang diatur pada Pasal 60 ayat (1) tersebut. Di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia.
Menanggapi putusan tersebut, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ali Sahab SIP Msi pada Rabu (31/8/2022) menerangkan bahwa tidak menjadi masalah napi koruptor untuk diberikan hak mencalonkan diri. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk dari hak politik setiap individu (perorangan).
Etika Politik dan Pemilih yang Cerdas
Mengenai caleg yang merupakan eks koruptor, Ali mengungkapkan bahwa jika mereka ingin mencalonkan diri, maka seharusnya muncul etika politik yang memaksa mereka tidak mencalonkan diri lagi. Sementara itu, banyak kasus dari eks koruptor yang masih mencalonkan diri ketika pemilu berlangsung. Sebab di Indonesia, budaya etika tersebut belum tumbuh.
“Dan juga, selama (eks napi koruptor, Red) tidak dicabut hak miliknya, maka mereka masih bisa untuk mencalonkan dan dicalonkan, ” imbuhnya.
Putusan MA juga memberikan dampak bagi partai dan juga politisi. Menurut Ali, putusan tersebut memiliki potensi menguntungkan golongan partai politik serta beberapa politisi tertentu karena putusan itu dibuat oleh dewan dari orang-orang yang berada di partai politik.
Lebih lanjut, Ali juga berpesan kepada masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas, dengan mengetahui track record calon yang akan dipilihnya, apakah calon tersebut baik atau tidak.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
“Sebab, yang menjadi filter adalah pemilih itu sendiri. Kalau sampai mantan koruptor terpilih lagi, bisa jadi masyarakat yang salah (menentukan), ” terangnya. (*)