SURABAYA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) lebih dari ambang batas aman. Obat sirup yang diduga menjadi penyebab gangguan gagal ginjal akut itu ditarik dan dimusnahkan dari pasaran apabila terbukti terdapat kandungan yang membahayakan bagi tubuh.
Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan diskusi online pada Selasa (1/11/2022). Diskusi bertajuk “Merumuskan Pertanggungjawaban Hukum Cemaran Obat terhadap Kasus Gagal Ginjal Akut” itu mengundang dua pembicara. Yaitu, Dekan Fakultas Farmasi (FF) UNAIR Prof Junaidi Khotib PhD Apt dan Direktur UKBH FH UNAIR Sapta Aprilianto SH MH LLM.
Posko Aduan
Sementara itu, Dekan FH UNAIR Iman Prihandono SH MH LLM PhD membuka diskusi pada siang itu dengan memberikan sambutan. Iman menyampaikan UKBH FH UNAIR berkolaborasi dengan FF UNAIR akan membuka posko aduan dan advokasi untuk pasien gagal ginjal akut.
“Sebelum membuka posko, kita harus mengetahui dulu permasalahannya dari ahlinya, yaitu Prof Junaidi yang akan membahas dari sisi farmasi dan Pak Sapta yang akan membicarakan tentang tanggung jawab pidana, ” ujarnya.
EG Sudah Dilarang
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan secara singkat oleh Prof Junaidi mengenai penyebab terjadinya gagal ginjal akut yang diduga terjadi karena obat sirup yang mengandung EG melebihi ambang batas aman. Prof Junaidi menjelaskan negara Indonesia sebenarnya tidak mengizinkan EG untuk dimasukkan ke dalam obat karena sifatnya senyawa toxic.
“Suatu obat itu tentu mutu menjadi utama. Mutu yang pertama berisi keamanan, kedua efektivitasnya. Sebagai pharmacist, kita harus mampu memberi jaminan obat itu aman digunakan oleh masyarakat, ” tuturnya.
Prof Junaidi mengatakan kasus gagal ginjal akibat obat sirup tersebut pada awalnya tidak diketahui penyebabnya. Setelah diinvestigasi, sambung Prof Junaidi, akhirnya diketahui bahwa penyebabnya adalah beberapa obat sirup yang mengandung EG.
“Tidak pernah ada obat dalam bentuk EG atau mengandung EG ini sebelumnya. EG ini sebenarnya berfungsi untuk pulen atau antifreeze. EG ini termasuk bahan tambahan atau eksipien, ” papar Prof Junaidi.
Senyawa-senyawa seperti propilenglikol, polietilenglikol, sorbitol, dan gliserol yang terdapat dalam kandungan obat sirup, lanjutnya, membutuhkan EG untuk proses pembentukannya, sehingga EG berfungsi sebagai pencemar apabila melebihi ambang batas aman yaitu 0, 5 miligram.
Tanggung Jawab Hukum
Sapta menyambung dengan menerangkan terkait sisi pertanggungjawaban pidana menurut hukum kesehatan. Menurut Sapta, apabila terdapat suatu perbuatan pidana maka harus dicari tahu penyebabnya. Ia menjelaskan seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana manakala ada perbuatan pidana dan kesalahan pidana yang dilakukan orang tersebut.
Ketika unsur perbuatan pidana telah terpenuhi, ucap Sapta, maka dapat disebut perbuatan pidana. Namun, sambungnya, sifat-sifat dalam hukum pidana tidak bisa serta merta diterapkan dalam hukum kesehatan.
“Maka dari itu, dalam kasus ini yang paling penting harus dicari tahu dulu apakah ada kausalitas antara perbuatan dengan kesengajaan, apakah benar cairan di dalam obat tersebut merupakan hal utama penyebab gagal ginjal atau tidak, ” tukas Sapta. (*)
Penulis: Dewi Yugi Arti
Editor: Feri Fenoria