SURABAYA — Kembali helat Professor Summit 2023, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengundang berbagai guru besar dari beberapa perguruan tinggi. Pada gelaran ini, Pemanfaatan Teknologi Masa Kini dalam Membangun Masyarakat Indonesia menjadi sub topik hangat yang dibicarakan, Kamis (19/10). Di dalamnya, dibahas soal implementasi teknologi di bidang kesehatan.
Pembicara utama di seminar kali ini, Prof Dr dr Siti Setiati SpPD KGer MEpid membuka dengan pesatnya perkembangan teknologi kesehatan yang memberikan perubahan signifikan dalam dunia kedokteran di berbagai aspek. “Berbagai teknologi kesehatan seperti CT-scan, artificial knee, Apple Watch, hingga telehealth kini marak digunakan, ” papar guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
Lebih lanjut mengenai telehealth, layanan konsultasi kesehatan jarak jauh ini mulai berkembang pesat sejak pandemi Covid-19 lantaran tuntutan menjaga jarak. Sehingga penyebaran virus dapat diminimalisasi. Melalui telehealth, pasien tidak perlu menemui dokter secara langsung. Karenanya, proses yang terjadi jauh lebih efisien. “Namun, penggunaannya masih terbatas pada pasien dengan penyakit yang urgensinya rendah, ” imbuhnya.
Selain telehealth, Siti juga menjelaskan tentang Hospital information System (HIS) dan Electronic Health Record (EHR), sebuah sistem terpadu dan terintegrasi untuk mengolah informasi di rumah sakit secara menyeluruh. Semua informasi tersebut tersimpan sebagai sumber data untuk big data yang bisa diakses dengan lebih mudah. “Big data tersebut dapat digunakan untuk memantau penyakit, memprediksi risiko luaran, terapi target, intervensi, hingga mempelajari suatu penyakit dengan lebih lanjut, ” ungkapnya.
Prof Dr dr Siti Setiati SpPD KGer MEpid (kiri) ketika memaparkan pendapatnya tentang teknologi kedokteran
Tak kalah kerennya, Siti juga memperkenalkan precision medicine atau kedokteran presisi sebagai salah satu inovasi teknologi yang dapat menentukan pilihan terapi pasien berdasarkan profil genetik. Tujuannya adalah untuk mengoreksi mutasi gen patogen melalui terapi genetik. Misalnya saja obat trastuzumab dan pertuzumab yang dikombinasikan untuk terapi Anti-HER2 guna mengobati kanker payudara pada wanita.
Apabila kedokteran presisi diintegrasikan ke dalam big data, maka akan terjadi interaksi data klinis, genetik, sosial, dan lingkungan sehingga sistem dapat memprediksi pengobatan yang tepat. Hal ini juga berhubungan dengan kecerdasan buatan yang bisa memberi rekomendasi berdasarkan data-data pasien yang ada. “Namun, rekomendasi tersebut bersifat sebagai skrining dan evaluasi keputusan oleh tenaga medis, ” tegasnya.
Menurut Siti, berbagai teknologi lain di bidang kesehatan tentu akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Indonesia sendiri telah menyiapkan rencana kedepan guna mengoptimalkan teknologi dan digitalisasi di bidang kesehatan. “Peran kecerdasan buatan dan teknologi akan membantu kita ke depannya, ” pungkasnya mengakhiri materi seminar. (*)
Reporter: Ion 13
Redaktur: Irwan Fitranto