SURABAYA - Rasa cemas merupakan salah satu perasaan yang kerap dirasakan manusia. Namun apabila berlebihan, perasaan ini dapat menghantui pikiran hingga mengacaukan aktivitas sehari-hari. Menyorot hal ini, Psikolog Medical Center Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Fatimatuzzakiyah SPsi MPsi Psikolog bagikan tip untuk bersahabat dengan rasa cemas berlebih.
Dilansir dari Our World in Data tahun 2018, gangguan kecemasan atau anxiety disorder merupakan penyakit mental yang diderita oleh 284 jiwa di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, hasil survei Indonesia Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebutkan bahwa gangguan cemas—gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas—merupakan gangguan yang paling banyak diderita oleh remaja umur 10 hingga 17 tahun.
Borwin Bandelow dari Departemen Psychiatry and Psychotherapy University Medical Center, Jerman di tahun 2017 menyebutkan bahwa penyebab gangguan kecemasan merupakan interaksi dari psychosocial faktor. Diantaranya adalah kemalangan masa kecil, stres, trauma, serta kerentanan genetik yang berakibat pada disfungsi neurobiological dan neuropsychological.
Sedangkan menurut artikel dari Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, fobia sosial atau kecemasan sosial merupakan kecemasan akibat merasa selalu diperhatikan. Akibatnya, seseorang akan merasakan ketidaknyamanan dan stres akibat ekspektasi dirinya akan bertindak tidak tepat dan mendapatkan kesan negatif dari sekitarnya pada suatu situasi sosial.
Psikolog Medical Center Institut Teknologi Sepuluh Nopember Fatimatuzzakiyah SPsi MPsi Psikolog berbicara mengenai kecemasan berlebih yang kerap timbul di tengah masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Psikolog Medical Center ITS yang akrab disapa Zakiyah tersebut mengungkapkan, kecemasan sejatinya merupakan hal yang wajar untuk dimiliki setiap orang. Hal ini merupakan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan. Sayangnya, dengan adanya perkembangan internet dan keterbukaan informasi saat ini, tidak jarang seseorang malah mengantisipasi hal-hal kurang penting yang kelak menimbulkan kecemasan sosial.
Kecemasan dapat dikategorikan berlebih bilamana telah memengaruhi kesehatan mental kita. Pengaruh ini terlihat jika aktivitas sehari-hari menjadi terganggu. Misalnya tugas yang tidak terselesaikan, tidur tidak nyenyak, serta datangnya demotivasi dalam hidup. “Tanda-tanda ini dapat menjadi indikator bahwa kecemasan yang kita rasakan telah berlebih dan memerlukan tindakan untuk meluruskannya kembali, ” tuturnya, Minggu (4/6).
Lulusan magister psikologi Universitas 17 Agustus 1945 ini menjelaskan, untuk menghadapi kecemasan yang berlebih terdapat tiga tahapan yang dapat digunakan. Tahapan yang pertama adalah dengan memvalidasi keberadaan perasaan tersebut dengan mengakui bahwa perasaan tersebut nyata. “Menyadari bahwasanya kita sedang cemas akibat suatu hal dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki kecemasan, ” tambahnya.
Tahapan selanjutnya adalah dengan mempertimbangkan kembali pikiran-pikiran yang menjadi alasan kecemasan. Seseorang dapat menantang pikirannya dengan mempertanyakan kebenaran dari sumber kecemasan yang timbul, apakah perasaan yang dirasakan merupakan bahaya yang dapat berdampak bagi dirinya. “Melalui cara ini, kita dapat menguraikan dan mengejar asal muasal dan hal pemicu kecemasan yang sedang dialami, ” jelasnya.
Langkah terakhir adalah kembali berfokus pada tindakan apa yang dapat dilakukan terhadap kecemasan tersebut. Dengan menggolongkan mana saja yang dapat dikendalikan dan apa yang berada di luar kendali, kita dapat menyadari batasan diri kita. Hal tersebut dapat mengingatkan kita kembali atas prioritas yang kita miliki dan bertindak sesuai dengan kapasitas.
Zakiyah melanjutkan, ketiga tahap ini dapat menjadi antisipasi dan pertolongan pertama untuk mengatasi kecemasan yang sewaktu-waktu timbul dalam kehidupan. Namun apabila perasaan yang muncul terasa di luar kendali, seseorang dapat membagikan ceritanya kepada teman dekat, keluarga, hingga bantuan psikolog profesional untuk melepaskan beban yang dirasakan.
Wanita asal Balikpapan ini lantas menekankan, berkunjung ke psikolog merupakan hal yang patut dinormalisasikan. Selayaknya berobat ke dokter untuk menyembuhkan penyakit, berkonsultasi ke psikolog adalah hal wajar mengingat keberadaan kesehatan mental yang sama pentingnya dengan kesehatan jasmani. “Sekecil apa pun perasaan mengganjal dalam diri yang timbul dapatlah menjadi alasan untuk merasa tidak baik-baik saja dan pergi ke psikolog, ” tutupnya. (*)
Reporter: Ricardo Hokky Wibisono
Redaktur: Raisa Zahra Fadila