SURABAYA– Tragedi Kanjuruhan masih menjadi sorotan publik hingga saat ini. Tak ada yang menyangka, pertandingan bola yang biasanya membawa gegap gempita justru membawa duka.
Koordinator Program Studi Doktoral Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Fendy Suhariadi MT Psi menyampaikan duka mendalam atas terjadinya tragedi itu.
“Indonesia kembali harus merelakan anak-anak penerus bangsa sebelum mereka sempat mendarmabaktikan talentanya kepada negeri, ” sebutnya.
Bila ditinjau dari sudut pandang Sumber Daya Manusia (SDM), tragedi ini harus menjadi catatan penting bagi para pemimpin untuk terus menjadi pemimpin yang mawas diri. Pasalnya, dalam SDM dan sportivitas, kedewasaan dituntut lebih rasional dibanding emosional.
“Saat menonton sepak bola, identitas pribadi lebur menjadi identitas kelompok yaitu identitas sebagai suporter, sehingga kita tidak dapat membahas kedewasaan secara individual karena sudah bersifat komunal, ” sebutnya. Pada situasi seperti ini, ketergantungan kelompok dengan pemimpin menjadi sangat tinggi.
Baca juga:
Universitas Brawijaya Raih Akreditasi Unggul
|
Untuk itu, penting bagi para pemimpin untuk menjadi pribadi yang mawas diri. “Di situasi seperti ini, kata pemimpin adalah yang dituruti, sehingga yang harus didahulukan adalah kedewasaan para pemimpin, bukan para kelompok pengikutnya, ” jelasnya dalam agenda Airlangga Forum 102 besutan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.
Berdasarkan teori sportivitas, pengenalan identitas sebagai musuh hanya terjadi saat pertandingan berlangsung. Setelah itu, seharusnya sudah tidak ada lagi identitas sebagai rival. “Namun yang terjadi di sini, emosi individu larut dalam komunal, pemimpin mereka masih merasa adanya identitas musuh, sehingga agak sulit melepaskan identitas komunal tadi menjadi identitas individu, ” jelasnya pada Jumat (7/10/2022).
Prof Fendy sangat menyarankan, pemimpin haruslah pribadi yang dewasa, mengingat mereka menjadi role-model bagi pengikutnya. Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang rasional responsif, bukannya reaktif dan emosional. Bila pemimpin memiliki keteguhan hati untuk mawas diri, maka identitas komunal akan ikut dalam batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemimpin. (*)
Penulis : Stefanny Elly
Editor : Binti Q.Masruroh