SURABAYA - Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non-subsidi resmi mengalami kenaikan pada Sabtu (3/9). Hal tersebut langsung diumumkan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Kenaikan komoditas tersebut memicu gelombang protes yang masif dari berbagai kalangan masyarakat. Demo dan seruan aksi tidak berhenti digelar di berbagai tempat.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi, menyebutkan bahwa fenomena tersebut lumrah terjadi. Ia melihat, pemerintah sudah memahami hal tersebut dengan baik, termasuk dampak sosial dari keputusan yang tidak populer tersebut.
“Efek domino kenaikan harga BBM ini kan memicu juga rentetan kenaikan barang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Jadi wajar kalau muncul kekhawatiran dan ketidakpuasan kalau kenaikan harga BBM menimbulkan tekanan sosial baru, ” ujarnya, Selasa (13/9/2022).
Hal tersebut terlihat dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung digencarkan. Menurutnya, hal itu merupakan upaya pemerintah agar tekanan sosial yang terjadi tidak terlalu besar. Ia menekankan bahwa yang menjadi tantangan ialah bagaimana menjamin kepercayaan masyarakat mengenai distribusi BLT yang merata. Tentunya, informasi yang terbuka harus dilakukan.
Baca juga:
Budget Expo dan Program Prioritas Tahun 2023
|
“Yang dikhawatirkan, program bansos tidak banyak berdampak, karena logika pemerintah kayaknya membayangkan kalau masyarakat itu kondisi ekonominya nol, lalu diberi 600 ribu, dan katakanlah plus 600 ribu. Tapi masalahnya, bagaimana kalau masyarakat minus?” tambah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR tersebut.
Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi. (Foto: Humas UNAIR)
Selain masalah distribusi, Prof Bagong juga bicara perihal kemanfaatan. Menurutnya, distribusi yang tepat sasaran belum tentu tepat manfaat. Apalagi, dampak sosial dari putusan tersebut akan meningkatkan golongan orang miskin baru. Tentunya banyak masyarakat yang harus beradaptasi dengan kondisi tersebut.
“Untuk kelompok yang kita sebut sebagai kelompok near poor, dekat dengan kemiskinan, gejolak harga membuat mereka bukan tidak mungkin akan menjadi orang miskin baru, ” ucapnya.
Disisi lain, pada dasarnya, stimulus pemberian subsidi tidak selamanya baik apabila dilakukan secara berlebihan. Hal tersebut akan berdampak pada masyarakat yang selalu ketergantungan. Baginya, ketika subsidi dikurangi atau dicabut, maka masyarakat akan merasakan kehilangan atas apa yang dinikmatinya selama ini.
“Pemerintah sebaiknya tidak banyak pada bantuan yang sifatnya karitatif ya. tapi pada bantuan yang lebih memberdayakan dan kebijakannya jangan seperti pemadam kebakaran yang menunggu apinya menyala, baru dimatikan, ” pungkasnya.
Pada akhir, Prof Bagong berpesan, hendaknya masyarakat melakukan diversifikasi usaha dan tidak berpatokan pada pekerjaan pokok. Menurutnya, pekerjaan pokok gampang sekali terombang-ambing dengan regulasi yang ada.
“Bagaimana masyarakat diajari, didorong untuk memperkuat penyanggah ekonomi keluarga. Bukan membesarkan ekonomi pokok karena kalau kolaps maka kolaps ekonomi keluarga itu. Tapi kalau pemasukannya banyak, mereka akan lebih banyak menghadapi tekanan, ” tutupnya. (*)
Penulis: Afrizal Naufal Ghani
Editor: Nuri Hermawan