Setahun Putusan MK terkait UU Cipta Kerja, Quo Vadis?

    Setahun Putusan MK terkait UU Cipta Kerja, Quo Vadis?

    SURABAYA – Akhir November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa  UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sebagai inkonstitusional bersyarat via Putusan 91/PUU-XVIII/2020. Putusan ini keluar setelah masyarakat sipil melakukan uji formil yang pada dasarnya menggugat proses pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah diamanatkan untuk menindaklanjuti putusan tersebut agar UUCK guna mengembalikan keberlakuan hukumnya.

    Tim redaksi mewawancarai Pakar Hukum Tata Negara UNAIR Dr Rosa Ristawati SH LLM untuk mengulik sejauh mana tindaklanjut pemerintah terhadap putusan ini. Rosa mengatakan bahwa MK mengamanatkan untuk memperbaiki aspek formil dan materiil dari UUCK. Pembetulan secara formil ini dilakukan dengan memperbaiki hukum pembentukan peraturan perundang-undangan agar mengakomodir metode omnibus law yang digunakan dalam UUCK.

    “Secara formil, pemerintah dan DPR mengesahkan UU 13/2022 yang menjadikan metode omnibus law memiliki payung hukum. Jadi kedepannya model pembuatan legislasi dengan metode itu tidak memiliki kekosongan hukum, ” ujar alumni University of Maastricht itu.

    Rosa mengatakan bahwa putusan MK mengamanatkan bahwa formulasi legislasi harus menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Masyarakat disini memiliki tiga jenis hak: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Rosa menuturkan bahwa masih terlalu awal untuk menyimpulkan, ada tendensi bahwa pemerintah belum menerapkan prinsip ini secara masif.

    “Pemerintah melalui Satgas Percepatan Sosialisasi UUCK berupaya untuk memaksimalisasi penerapan meaningful participation. Tetapi, persoalan memperbaiki aspek materiil memerlukan kerjasama dengan berbagai stakeholder dan pemerintah untuk menjaring aspirasi masyarakat sebanyak-banyaknya. Secara normatif dalam UU 13/2022, asas keterbukaan yang menjadi pintu masuk meaningful participation belum juga menjamin ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, ” paparnya, Kamis (8/12/2022).

    Satu hal yang dikritisi Rosa terkait tindaklanjut putusan MK adalah pemerintah pernah melakukan pengabaian terhadap amar putusannya. Amanat MK adalah untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK. Tetapi, pemerintah malah justru meneken Perpres 113/2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UUCK.

    Di penghujung wawancara, Rosa mengatakan bahwa pelaksanaan putusan MK tidak seharusnya dimaknai hanya sebatas mengembalikan legitimasi UUCK dan metode omnibus law yang digunakan. Melainkan, harus diberi dulu ratio yang jelas terkait eksistensi metode tersebut dan mengapa itu dibutuhkan di Indonesia.

    “Mungkin hal ini sudah dilakukan dengan revisi UU PPP tetapi pada konteks implementasi sebuah UU berbentuk omnibus juga memerlukan uji keberlakuan dalam implementasinya. Sehingga permasalahan legitimasi ini tidak berhenti hanya dengan telah adanya payung hukum bagi omnibus law, ” tutup Rosa.

    Penulis: Pradnya Wicaksana

    Editor: Nuri Hermawan

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Masuk Era Globlisasi, Masyarakat Sepakat...

    Artikel Berikutnya

    Diskusi Terbuka Bali Democracy Forum Kementerian...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami