Tradisi Kentongan Sahur di Indonesia, Dosen UNAIR: Tidak Ditemukan Catatan Sejarah

SURABAYA – Selama bulan Ramadan, ada satu kegiatan yang hanya terjadi setiap tahunnya, yaitu tradisi kentongan dalam membangunkan orang sahur. Hampir seluruh wilayah Indonesia melakukan tradisi ini sebagai bentuk untuk menyemarakkan bulan suci. Namun, sejak kapankah tradisi ini berlangsung di Indonesia?

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Dr Sarkawi B Husain SS MHum memaparkan bahwa masih belum ditemukan catatan sejarah mengenai awal mula tradisi kentongan ini. Namun, ada dugaan bahwa tradisi ini ada sejak Islam masuk di Indonesia.

Baca juga: Dikti Gelar Expo Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul 2020

“Dugaan saya, tradisi tersebut sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia, ” katanya.

Kepala Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu menyampaikan bahwa tradisi kentongan yang ada di Indonesia ini tidak memiliki hubungan secara langsung dengan tradisi yang ada di Timur Tengah. Meski demikian, Timur Tengah memiliki tradisi sendiri dalam membangunkan orang sahur, yaitu azan.

Baca juga: Rektor UB Bersama Dirjen Pendidikan Vokasi dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Resmikan Gedung Baru Fakultas Vokasi

“Tradisi ini tidak memiliki hubungan secara langsung dengan daerah Timur Tengah. Namun secara tidak langsung tradisi membangunkan sahur sudah ada sejak zaman Rasulullah dengan media yang berbeda, yakni azan, ” ucap Sarkawi, Selasa (11/4/2023). 

Ragam Tradisi Kentongan Sahur di Indonesia

Baca juga: Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional

Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia melakukan tradisi tersebut dengan tujuan yang sama, namun tidak semua wilayah memiliki nama tradisi yang sama. Misalnya, tradisi ngarak beduk di Jakarta dan tradisi bagarakan sahur di Banjar, Kalimantan Selatan.

Baca juga: Dikukuhkan, Mahasiswa Baru Pascasarjana 2022 Didorong Optimalkan Masa Studi

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Dr Sarkawi B Husain SS MHum

“Masing-masing daerah memiliki tradisinya masing-masing. Masyarakat Jakarta misalnya, tradisi ngarak beduk atau beduk sahur sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Di daerah Banjar, Kalimantan Selatan, misalnya, ada tradisi bagarakan sahur yang sudah ada sejak Islam masuk di daerah Banjar. Tradisi tersebut dengan menggunakan peralatan sederhana seperti panci, galon air, atau radio, ” jelasnya.

Baca juga: Universitas Brawijaya Raih Akreditasi Unggul

Respons Masyarakat

Tradisi kentongan dalam membangunkan orang sahur ini menciptakan respons dari berbagai masyarakat. Bagi masyarakat muslim khususnya masyarakat desa atau kampung, tradisi ini bermanfaat dalam membangunkan mereka untuk sahur. Mereka juga antusias menyambut bulan suci dengan melakukan tradisi tersebut.

Namun, tradisi ini dapat mengusik ketenangan masyarakat non-muslim. Mereka terpaksa harus bangun lebih pagi dari pada biasanya karena suara bising yang mereka dapatkan.

“Bagi masyarakat non-muslim tentu ini agak mengganggu karena terpaksa terbangun akibat suara bising, padahal mereka tidak hendak sahur, ” ungkap Sarkawi.

Relevansi Tradisi Kentongan Sahur Era Modernisasi

Baca juga: Universitas Brawijaya, Perguruan Tinggi Terbaik Pertama Versi Webometrics

Tradisi kentongan sahur ini masih relevan hanya di beberapa tempat, salah satunya adalah desa atau kampung. Tempat tersebut masih relevan dalam menerapkan tradisi kentongan sahur karena faktor homogenitas penduduk dan teknologi.

“Bagi masyarakat yang homogen seperti di desa atau kampung, tentu ini masih sangat relevan. Apalagi di kampung, tentu ada keluarga yang tidak memiliki teknologi seperti HP yang dapat digunakan untuk alarm, ” jelas Sarkawi.

Namun, tradisi ini tidak terlalu relevan jika diterapkan di perkotaan. Mereka merupakan masyarakat yang beragam, tidak semuanya beragama Islam, dan penggunaan teknologi yang sudah maju dalam membangunkan orang sahur. (*)

Penulis: Muhammad Fachrizal Hamdani

Editor: Binti Q. Masruroh

Baca juga: Sri Hastjarjo, S Sos , Ph D: Pers dan Media